BATAK

LEGENDA SI MBUYAK-BUYAK

Tuan Nahoda Raja Marga Simbolon berangkat dari Samosir menuju si Rintua Kecamatan Parlilitan. Mereka berangkat tiga orang dengan permaisuri Boru Hotang dan Boru Limbong. Mereka senang bekerja dan punya keturunan yang terkenal dengan nama Si Onom Hudon. Menurut legenda kuno bahwa Tuan Nahoda Raja sebenarnya punya anak Tujuh orang yang pertama adalah si Mbuyak-buyak. Konon ceritanya karena si Mbuyak-buyaklah dan keturunan satu ibu (Turutan, Pinayungan dan Nahampun yang dilahirkan boru Limbong kurang beruntung ini, terbukti dari jarangnya marga tersebut di acara-acara adat khususnya Turutan dan Pinayungan).

Dalam suatu Cerita Tonnel (kira-kira 40 tahun yang lalu  atau tahun 1967) di Gaman pernah diadakan Tonnel Tuan Nahoda Raja karena salah seorang Marga Nahampun hendak menyelesaikan Perguruan Tinggi di Aceh  Namanya Rusli Nahampun dan untuk memuluskan studinya diadakanlah istilahnya “mamurpur sapata” dengan tujuan meringankan hukuman yang pernah dipadankan oleh Ompung si Mbuyak-buyak anak sulung dari Tuan Nahoda Raja karena ulah dari adek-adeknya yang 6 marga tersebut di atas.

Dalam cerita : Mereka (Keluarga Besar Tuan Nahoda Raja) tinggal di sebuah Desa namanya Si Rintua masih dalam Kecamatan Parlilitan, kemudian mereka rukun dengan anak-anaknya tujuh orang dan satu perempuan namanya Simbntar Daroh (berdarah putih).

Salah satu anak Tuan Nahoda Raja yaitu Si Mbuyak-buyak punya kekurangan dan kelebihan. Kekurangannya adalah tidak bisa berjalan kalau siang hari dan kalau makan sangat kuat sehingga pada saat berdoa semua makanan yang dihidangkan habis dimakannya sehingga membuat adek-adeknya naik pitam terutama Turutan, Pinayungan dan Nahampun.

Kelebihannya pada waktu malam hari bisa berjalan keluar jam 19.00 dan kembali jam 04 pagi sehingga tidak ada yang yang mengetahui apa yang dikerjakan pada waktu tersebut termasuk orangtuanya.

Pada suatu hari mereka bertujuh pindah kampung pisah dari orangtuanya dan si Mbuyak-buyak digotong oleh adek-adeknya ke lokasi Kuta Napa Dllng Si Jagar (Perbatasan Manduamas dengan Bungus) kirakira di Siambaton Kecamatan Pakkat, sementara orangtua mereka tetap di Si Rintua (Antara Huta Godung dengan Si Ringo-Ringo di Kec. Parlilitan).

Ditempat yang baru mereka tinggal di lereng gunung (Dolok Sijagar) dan mata pencaharian mereka adalah “Kapur Barus” dengan penghasilan pas-pasan mereka tidak dapat berkembang bahkan membantu orangtua mereka Tuan Nahoda Raja yang tinggal di si Rintua pun tidak dapat dipenuhi mereka. Pada suatu hari mereka mendengar berita yang kurang enak dari orangtuanya, dimana Tuan Nahoda Raja mempunyai banyak  utang, karena sering diajak oleh kerabatnya main judi dan sejenisnya.

Pada suatu hari si Mbuyak-buyak merenung memikirkan utang orangtuanya. Untuk itu ada terbenak dipikirannya untuk menyelesaikan utang tersebut. Diperintahkanlah pada adek-adeknya Tinambunan dan Tumanggor untuk membuat Kulit Gotos (Kayu Torop, sejenis Kayu Sukun) untuk diserahkan pada si Mbuyak-buyak selama satu minggu (enam hari) si Mbuyak-buyak terus “mamuyu” (memintal) Tali Gotos sampai panjang sekali dan pada suatu malam pada saat adek-adeknya tertidur lelap dia pergi dan membawa tali yang sudah dipersiapkan.

Dia pergi ke hutan dan menanyakan setiap Kayu Kapur Barus berapa isi mereka , selesai dilaksanakan dia pulang ke rumah. Dan semua Kayu Kapur Barus yang berisi telah diikat dengan tali Gotos.

Pada waktu pagi hari dia memerintahkan kepada adeknya Tinambunan untuk pergi bersama adek-adeknya yang lain ke hutan dengan petunjuk tali yang sudah diikat pada setiap pohon dengan perintah sebagai-berikut :

Pergilah kalian ke tombak (hutan) dan ambillah semua Kapur Barus yang sudah saya ikat dengan tali dan ambillah semua isinya untuk membayar utang orangtua kita kecuali salah satu Kayu Kapur Barus yang berisi mulai dari akar sampai daunnya, jangan diambil dulu dan nanti setelah lunas utang orangtua kita  baru diambil untuk biaya pesta kita bersama orangtua.

Kemudian adek-adeknya yang enam orang berangkat ke hutan dan mengambil semua Kapur Barus yang dipesankan oleh Si Mbuyak-buyak, dengan hasil yang sangat banyak sekali.

Kemudian mereka melapor pada Si Mbuyak-buyak untuk pergi membawa hasil Kapur Barus yang diambil dari hutan untuk membayar utang orangtua Tuan Nahoda Raja.

Sebelum mereka pergi membawa Kapur Barus kepada orangtua mereka, si Mbuyak-buyak berpesan kepada mereka demikian : “Bayar kalianlah semua utang orangtua kita sampai lunas, kemudian kita  punya durian namanya si jangkawan dan babi kasing yang sudah besar jangan diambil dulu dan di makan. Kalian harus pulang ke sini untuk mengambil Kapur Barus yang berisi mulai dari akar sampai daun untuk kita bawa dan kita akan mengadakan pesta besar untuk menghormati orangtua kita.” Dan mereka semua mengiyakan.

Kemudian mereka pergi dan membawa hasil Kapur Barus kepada orangtua di si Rintua. Dan Tuan Nahoda Raja sangat senang melihat hasil Kapur Barus yang mereka bawa sehingga utang mereka bisa lunas dengan hasil tersebut bahkan masih ada sisa untuk sekedar pesta kecil-kecilan.

Setelah utang orangtua lunas, adek-adek Si Mbuyak-buyak berubah haluan yang disponsori oleh Turutan, Pinayungan dan Nahampun bahkan Maharaja. Kemudian Tinambunan dan Tumanggor masih kukuh mempertahankan pesan abangnya si Mbuyak-buyak untuk pulang dulu mengambil Si Mbuyak-buyak baru sama-sama mengadakan pesta.

Dengan ajakan secara paksa dari Turutan, Pinayungan dan Nahampun serta Maharaja ikut-ikutan kepada orangtua mereka Tuan Nahoda Raja untuk mengadakan pesta karena utang telah lunas. Dengan mengambil durian si jangkawan dan memotong babi kasing yang sudah besar.

Tinambunan dan Tumanggor tidak setuju diadakan pesta tanpa abangnya si Mbuyak-buyak, tapi kelompok Turutan Cs tetap bersikukuh dan membuat orangtua mereka mengambil keputusan yang berat mengingat mereka sudah dapat melunasi utang-utangnya dan si Mbuyak-buyak dianggapnya tidak berperan dalam mencari Kapur Barus tersebut karena tidak bisa jalan, padahal semua masalah bisa diatasi adalah karena hasil karya si Mbuyak-buyak.

Akhirnya sampai pada keputusan dengan 4 (Turutan, Pinayungan, Nahampun dan Maharaja) lawan 2 (Tinambunan dan Tumanggor) dan orangtua netral diambillah keputusan dengan membelah durian si jangkawan dan memotong babi kasing dan jadilah pesta diselenggarakan oleh mereka tanpa kehadiran abang mereka si Mbuyak-buyak. Dan inilah awal bencana bagi mereka yang ingkar tidak setia janji.

Setelah selesai pesta mereka hendak bergegas mengambil Kapur Barus yang berisi dari akar sampai daun yang pernah dipesankan oleh abang mereka Si Mbuyak-buyak.

Begitu sampai mereka di tempat si Mbuyak-buyak mereka sangat kaget melihat raut muka Si Mbuyak-buyak yang kurang bersahabat, karena mereka telah menghianatinya.

Tinambunan dan Tumanggor merasa bersalah karena telah menghianati janji yang telah mereka buat dan Turutan, Pinayungan, Nahampun dan Maharaja malah tenang-tenang saja dan merasa tidak bersalah setelah abang mereka Si Mbuyak-buyak membuka rahasia mereka terkesima dan kaget melihat kehebatan Si Mbuyak-buyak, dimana si Mbuyak-buyak berkata kepada mereka bahwa dia telah dihianati. Pada saat itu mereka belum mengakui kesalahannya tetap mengajak si Mbuyak-buyak untuk mengambil Kbrruun yang berisi akar sampai daun untuk dibawa ke orangtua Tuan Nahoda Raja untuk merayakan Pesta.

Kemudian si Mbuyak-buyak pergi ke belakang untuk mengambil bukti kesalahan mereka dimana pada saat  si Mbuyak-buyak pergi ke kali dia melihat ada kulit durian si Jangkawan dan tetesan darah babi di kulit nya. Dibawalah ke rumah dan itulah ditunjukkan kepada adek-adeknya semua sehingga mereka tidak bisa lagi berkelit dan mengakui perbuatan mereka.

Kemudian si Mbuyak-buyak memerintahkan adeknya Tinambunan untuk pergi mengambil Kapur Barus yang berisi mulai dari akar sampai daun dengan pesan supaya disisakan 10 Asta (5 meter) batang kayu Kapur Barus tersebut.

Dan dilaksanakan Tinambunan dkk, dibawalah semua hasil Kbrruun itu dan diserahkan kepada si Mbuyak-buyak yang 5 meter, kemudian si Mbuyak-buyak mengumpulkan semua adek-adeknya dan mulailah dia Mrpatipatian (memberikan  semacam peringatan dan janji) karena kesalahan yang telah mereka perbuat, karena  sudah tiba saatnya mereka akan berpisah untuk selama-lamanya.

Pertama dipanggil adalah Tinambunan dan Tumanggor saya melihat tingkah laku kalian sebenarnya dalam hati nuranimu tidak setuju menghianati aku tapi karena dorongan adek-adekmu kau terpaksa mengikutinya.  Maka kalian punya keturunan banyak dan dapat diandalkan (bisuk).

Kemudian banyak yang saurmatua dan berhasil dalam studinya.

Kepada Maharaja kau tidak mengindahkan abangmu Tinambunan dan Tumanggor maka keturunanmu sedikit namun bisa terpandang dan bisuk.

Kepada Turutan dan Pinayungan kalianlah sumber semua penghianatan itu sehingga abangmu adekmu si Nahampun dan bahkan Orangtua kita dapat kalian perdayai untuk melanggar janji kita maka saya katakan keturunanmu jarang bahkan lahir satu, yang lainnya meninggal dan hampir tidak pernah kelihatan kalian dalam acara acara adat abangmu dan adekmu.

Kepada Nahampun kau ikut-ikutan dan tidak pernah menantang ajakan abangmu Turutan dan Pinayungan untuk membantu abangmu Tinambunan dan Tumanggor yang seharusnya kau lakukan maka untuk itu keturunanmu banyak namun jarang ada yang pintar dan kalau ada yang pintar akan cepat meninggal.

Dan hal-hal lain yang saya pesankan adalah : jangan pernah kalian memelihara babi kasing untuk kepentingan kebutuhanmu, tapi kalau sebelum kasing silahkan dan kalau kalian harus memelihara nya maka katakan bahwa itu adalah milik borumu atau perempuan.

Dan untuk membantu kalian pada musim tanam ladang darat atau sawah kira-kira bulan Mei sampai Juni saya akan mengirimkan burung “Pamal” sebagai tanda kecintaanku kepada orangtua dan kalian adek-adekku yang datang ke rumahmu dan bisa kamu tangkap dan ingat jangan dipelihara harus dibunuh dan dimakan.

Mereka akan tinggal selama lebih kurang 5- 6  bulan bersama kalian sebagai mata pencaharian tambahan bagi kalian pada saat menanam menunggu hasilnya tiba pada bulan Desember.

Kemudian setelah semua itu disampaikan tidak ada yang protes dari semua adek-adeknya dan selang beberapa jam lagi diperintahkan kepada Tinambunan untuk mengambil kayu Kapur Barus yang 5 meter untuk diserahkan kepada si Mbuyak-buyak.

Maka pada saat itu si Mbuyak-buyak masuk dalam kayu tersebut dan meluncur dengan derasnya dari Dllng si Jagar menuju laut Manduamas (sampai sekarang ada bekasnya di Dllng si Jagar)

 

Setelah semua kejadian tersebut berlalu pulanglah semua Tinambunan dan adek-adeknya ke kampung orangtuanya di si Rintua dan diceritakanlah kejadian tersebut kepada mereka. Pada saat itu Tuan Nahoda Raja dan istrinya sangat sedih dan menangis karena berpisah dengan anaknya Si Mbuyak-buyak dan paling sedih adalah Patipatian yang diberikan oleh si Mbuyak-buyak kepada adek-adeknya dan suka atau tidak suka harus diterima oleh mereka. (nasi sudah jadi bubur).

Akibat hukuman tersebut maka pada waktu tahun enampuluhan ada generasi penerus namanya Rusli Nahampun membuat ide mamurpurhon sapata supaya mereka bisa lanjut sekolah .

Perlu diingat pada saat acara mamurpurhon sapata ni Oppung si Mbuyak-buyak bapak Rusli Nahampun sedang menyelesaikan skripsi sarjana di Banda Aceh.

Setelah acara mamurpurhon sapata dilaksanakan sampai di Pearaja Sidombilik maka Bapak Rusli Nahampun berani menyelesaikan studynya untuk meraih gelar sarjana. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak tetap berlaku bagi bapak Rusli Nahampun yang sangat khawatir melanjutkan studinya karena patipatian tadi.

Memang kenyataannya Bapak Rusli berhasil menyelesaikan studinya dan dapat menggondol gelar sarjana, namun apa yang bisa dikata keesokan harinya dia berpulang untuk selama-lamanya menghadap Tuhan sang Penciptanya.

Dari cerita itu ada beberapa hal yang menarik untuk direnungkan :

Apakah masih berlaku hukuman (Patipatian) seperti tersebut di atas (Kenyataan ada dan nyata). Apa yang harus kita ambil dari hikmah kejadian itu. Pelajaran apa yang dapat diambil dari Legenda tersebut untuk keturunan kita.?

Menurut informasi bahwa kayu Kapur Barus sepanjang 5 meter tersebut ditemukan oleh seorang ibu-ibu di pantai laut Saudi Arabia. Waktu si ibu hendak memotong membelah kayu tersebut  ada suara burung elang mengatakan agar si ibu mengambil rambutnya untuk membelah kayu tersebut dan akhirnya kayu tersebut berhasil terbelah dan alangkah kaget nya si Ibu melihat bayi mungil keluar dari kayu Kapur Barus tersebut penjelmaan Si Mbuyak-buyak. Dari peristiwa ini si Mbuyak-buyak bukan manusia biasa, sehingga hampir dipastikan dia adalah anak dari Sileang Nagurasta (Pahoppu Batara guru di Langitan) dalam cerita tersendiri.

Website yang berkaitan dengan Batak bisa dibuka lewat sini, bagi yang keberatan saya tampilkan,  mohon informasinya.

GO_BATAK

BATAK

BATAKNEWS

TAROMBO

SILABAN

TOBADREAMS

MALAU

BERSAMA TOBA

BATAK POS

TRANS TOBA

RIWAYAT SINGKAT PERJUANGAN RAJA SISINGAMANGARAJA XII
Ditulis pada Januari 11, 2008 oleh tanobatak

Dari catatan Keluarga Sisingamangaraja dalam rangka peringatan 100 tahun perjuangan raja Sisingamangaraja XII

Raja Si Singamangaraja XII lahir di Bakara ditepian Danau Toba sebelah Selatan pada tahun 1848. Saat ini Bakara merupakan suatu kecamatan dalam Kabupaten Humbang Hasundutan. Nama kecilnya adalah Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Sebagaimana leluhurnya, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun. Ketika Patuan Bosar dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1871, waktu itu umurnya baru 22 tahun dalam usia yang masih muda.

Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Si Singamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang �terbeang� atau ditawan, harus dilepaskan. Sebagaimana dengan Raja Si Singamangaraja I sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.

Dia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat. Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional. Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh.
Perjuangan Raja Si Singamangaraja XII melawan Belanda

Dapat dipadamkannya “Perang Paderi” melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Si Singamangaraja XII yang masih muda. Sebenarnya berita tentang masksud Belanda untuk menguasai seluruh Sumatera ini sudah diperkirakan oleh kerajaan Batak yang masa itu masih dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja XI yaitu Ompu Sohahuaon. Sebagai bukti untuk ini, salah satu putrinya diberi nama Nai Barita Hulanda.

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings� Besluit Tahun 1876″ yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :

1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Terlihat dari peristiwa ini, Raja Si Singamangaraja XII lah yang dengan semangat tinggi, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Raja Si Singamangaraja XII bukan anti agama dan di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dengan suku-suku lainnya.

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII.

Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, markas besar Raja Si Singamangaraja XII di Tangga Batu dan Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihambat. Belanda merobah taktik, pada babak berikutnya ia menyerbu ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si Singamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Raja Si Singamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Raja Si Singamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Namun Belanda tetap merasa penguasaan tanah Batak berjalan lamban.Untuk mempercepat rencana kolonialisasi ini, Belanda menambah pasukan besar yang didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) yang mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Si Singamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa kekuatan laut dari Danau Toba yang menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan menggunakan 20 solu bolon. Pertempuran besar pun terjadi.

Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Raja Si Singamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Raja Si Singamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Raja Si Singamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.

Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Si Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Raja Si Singamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki �Si Gurbak Ulu Na Birong�. Tetapi pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Raja Si Singamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Si Singamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.

Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh sehingga pada tahun 1890 pasukan khusus Marsose yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk menyerang Raja Si Singamangaraja XII di daerah Parlilitan. Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi.
Raja Si Singamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah di daerah Parlilitan selama kurang lebih 22 tahun, disetiap persinggahaannya Beliau selalu memberikan pembinaan pertanian, adat istiadat (hukum) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga menimbulkan kesetiaan dan dukungan rakyat untuk berjuang.walaupun banyak di antara penduduk yang mendapat siksaan dan pukulan dengan rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau bekerja-sama dengan Belanda. Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si Singamangaraja XII berada.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini merupakan gabungan dari suku Batak dan suku Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh putranya Patuan Nagari. Panglima-panglima dari suku Batak Toba antara lain, Manase Simorangkir dari Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga dari Uruk Sangkalan dan Ama Ransap Tinambunan dari Peabalane. Dari suku Aceh antara lain Teuku Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris. Sedang dari rakyat Parlilitan antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan Meha, Pak Botik Meha, Pak Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur, Pak Kuso Sihotang, Tarluga Sihombing dan Koras Tamba.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di suatu gua yang bernama Gua Batu Loting dan Liang Ramba di Simaninggir. Gua ini berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di bawah tanah. Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang bertingkat-tingkat. Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke tiga arah, dua sebagai akses keluar masuk dan satu menuju ke arah air terjun. Jarak dari pintu masuk ke air terjun didalam gua lebih dari 250 meter. Dengan demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan Raja Si Singamangaraja XII sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Raja Si Singamangaraja XII menolak tawaran tersebut. Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan.
Setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.

Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Raja Si Singamangaraja XII. Pertahanan Raja Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap oleh Belanda.
Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Raja Si Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya. Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut dan beberapa panglimanya termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang menyerah. Pengikut-pengikutnya yang lain berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang masih hidup dihina dan dinista, dan kemudian ditawan di internering Pearaja Tarutung. Semua mereka merupakan korban perjuangan.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Raja Si Singamangaraja XII sendiri. Walaupun Raja Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII sendiri.

Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung. Pada Tahun 1953, Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dimakamkan kembali di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga. Digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.

Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Si Singamangaraja XII selama selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara. Itulah yang dinamakan “Semangat Juang Raja Si Singamangaraja XII”, yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Raja Si Singamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi. Hal ini menumbuhkan semangat persatuan dan kemerdekaan di hati rakyat.

Di ambil dari BLOG TANO BATAK

10 pemikiran pada “BATAK

  1. Parningotan Tumanggor,SE.MM alias PARTUM

    Dari cerita di atas, berarti jasad Sisingamangaraja XII dimakamkan di Tarutung dan terakhir dipindahkan ke Balige. Yang saya tau, dan sudah pernah saya lihat, makam Sisingamangaraja XII ada di Pearaja Kec. Parlilitan Kab. Humbang Hasundutan (d/h. Kab. Tapanuli Utara)

  2. Pdt..Johnson Anakampun,S.Th

    Bagus kawan kembangkan terus menulis tentang silsilah Tarombo kita, dan kalo boleh Tarombo khusus kita Nahampun ya, biar sdra/i kita pada tau, dan kalo Tuhan izinkan satu waktu kita buat semacam seminar marga kita ni. oh ya asalku dari Gaman terus turun ke Manduamas, sekarang tinggal di Sidikalang. Kirim salam buata seluruh keluarga, Bapa udaku juga ada di Pontianak berprofesi Sebagai tenaga pendidik.

  3. Parningotan Tumanggor,SE.MM

    Sekali lagi appara, salut luar biasa atas tulisan appara khususnya tentang simbuyak-buyak. Hanya ada satu pertanyaan saya: Informasi tentang kapur barus sepanjang 5 M yang ditemukan ibu-ibu di pantai Saudi Arabia, sumbernya apakah cerita dongeng, didapat dari buku atau dari mana? Soalnya saya belum pernah mendengar itu. Mauliate, horas dan njuah-njuah

  4. P. NAHAMPUN, SH

    salam sejahtera bagi kita semua marga ANAK AMPUN ( Nahampun ) khusnya, dan si ONOM HUDON pada umumnya,pomparan Sibolon Tuan Nahoda Raja, harapan kami semoga silsilah marga anak ampun yang berasal dari PEARAJA DAIRI dapat dibuat dalam edisi berikutnya, GBU.

  5. Tresa helena

    Tapujima tuhan alani ibana hita boi pajuppana tikkion, mauliatema ito naburju di parohahon itokku do hape tarombottai sai lamtupistar nama itokku tujoloanon dituppak tuhan mauliate.

Tinggalkan komentar